Suatu
siang di bulan Mei sepulang sekolah, Sophie, seorang gadis remaja berumur 14
tahun, melihat dua amplop dan satu kartu pos di kotak surat rumahnya di 3 Clover Close. Kedua
amplop surat
itu tidak berperangko dan tanpa nama pengirimnya. Didorong rasa ingin tahu, dia
segera membuka kedua amplop itu. Didapatinya selembar kertas di setiap amplop.
Tiap lembar hanya berisi satu pertanyaan. Pertanyaan di amplop pertama berbunyi:
siapakah kamu? Pertanyaan dalam surat
kedua berbunyi: dari mana datangnya dunia?
Kisah ini
terdapat dalam novel berjudul Dunia Sophie karangan Jostein Gaarder, seorang penulis
produktif dan pengajar filsafat asal Norwegia. Buku aslinya berjudul Sofies
Verden terbit tahun1991, kini sudah diterjemahkan ke dalam 53 bahasa,
termasuk bahasa Indonesia, dan terjual 30 juta eksemplar di seluruh dunia.
Di kartu
pos ada perangko Norwegia, dengan cap pos Batalyon PBB. Kartu itu dialamatkan
kepada Hilde Moller Knag, d/a Sophie Amundsen, 3 Clover Close. Di dalamnya
terdapat ucapan selamat ulang tahun ke-15 untuk Hilde dari sang ayah. Tidak
disebutkan kota
asal kartu itu. Sophie sangat pusing menghadapi misteri di balik surat-surat
dan kartu pos itu. Ucapan selamat ulang tahun ditujukan bagi Hilde, bukan
dirinya sendiri yang juga akan
berulangtahun ke-15 sebulan sesudahnya.
Sophie didera
pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab. Misalnya, siapa pengirim surat yang terkesan iseng
itu? Siapa yang membawa dan memasukkan surat dan
kartu pos itu ke kotak surat? Lalu, siapakah gerangan Hilde Moller Knag?
Tidak ada temannya bernama Hilde. Bagaimana menjawab kedua pertanyaan itu? Dia
pusing tujuh keliling. Sejak waktu itu, perilakunya berubah. Lebih sering
Sophie menyendiri dan merenung. Di mana saja, kapan saja, kedua pertanyaan itu
selalu mengiang-ngiang: siapakah kamu? Dari manakah asalnya dunia?
Jostein
Gaarder menulis novel tersebut untuk memperkenalkan filsafat kepada mereka yang
baru belajar filsafat, termasuk para remaja seusia Sophie. Itulah sebabnya,
ditambahkan subjudul di bawahnya: sebuah novel tentang sejarah filsafat.
Gaarder melakukan hal itu karena dia tahu bahwa filsafat tidak mudah bagi para
pemula. Belajar filsafat bagi banyak orang dirasakan sebagai beban. Dengan
mengemukakan filsafat dalam bentuk novel, Gaarder berharap para remaja – yang
memang suka bacaan novel – bisa menikmati pelajaran tentang sejarah Filsafat
Barat yang kering. Alhasil, halaman-halaman buku ini senantiasa dibuka dengan
rasa ingin tahu yang besar (akan kelanjutan kisah Sophie). Rasa ingin tahu
merupakan langkah awal untuk berfilsafat.
Dalam buku
itu, Sophie tahap demi tahap mendalami filsafat Barat berkat bimbingan Alberto
Knox, seorang pria misterius sejak awal. Keduanya belum pernah berkenalan, dan
Sophie hanya tahu bahwa dia itu jago filsafat. Sophie tidak tahu apakah Alberto
seorang remaja seperti dirinya sendiri, atau seorang tua. Helene Amundsen, ibu
Sophie, pernah menduga itu pacar Sophie. Akhirnya ketahuan bahwa Alberto adalah
seorang yang sudah tua.
Di tahap
awal, Alberto memberikan kuliah filsafat jarak jauh untuk Sophie. Dia mengirim
bahan pelajaran filsafat dalam amplop besar, dihantar oleh pesuruh yang setia,
seekor anjing herder. Bahan kuliah mulai dari masa filsafat klasik Yunani,
filsafat abad pertengahan, hingga filsafat modern dan Dentuman Besar. Pada
tahap yang telah direncanakan, Sophie dan guru filsafatnya itu sudah bisa
bertatap muka dalam kuliah filsafat.
Sejak
“bergaul” dengan sang profesor, perangai Sophie berubah. Dia lebih sering
menyendiri dan merenung. Persahabatannya dengan Johana, teman akrabnya, mulai
renggang sebab kegiatan yang mereka lakukan selama ini di waktu senggang,
seperti main badminton, tidak disukai Sophie lagi. Sophie menganggap itu
hal-hal remeh yang tidak perlu diperhatikan. Dia lebih suka dengan hal-hal
penting yang menyangkut manusia dan kehidupan. Sampai-sampai ibunya menyangka
bahwa puterinya itu mulai mengkonsumsi narkoba.
Pemahaman
filsafatnya bertambah secara bertahap, pelan tapi pasti, seiring dengan
perjalanan bab-bab dalam novel. Dua pertanyaan filosofis itu akhirnya bisa
dijawab berkat bimbingan Alberto. Kuliah Filsafat yang kering dibuat bergairah
oleh cerita novel yang penuh warna itu.
Kalau
Gaarder menulis novel filsafat, Louis O. Kattshoff, dalam bukunya Pengantar Filsafat (1992) mencuplik
kisah kematian tragis Socrates untuk menjelaskan arti filsafat. Socrates
divonis mati oleh pengadilan Athena dengan tuduhan merusak kaum muda di kota itu. Di pengadilan
Socrates terbukti bersalah, dan dihukum mati dengan minum racun. Teman-temannya
– banyak di antaranya orang-orang kaya -
sebetulnya bersedia menyuap para sipir penjara, agar Socrates dapat
melarikan diri. Tapi, Socrates menolak tawaran itu, sebelum menimbang-nimbang
apakah kabur dari penjara itu tindakan yang layak dia lakukan.
Socrates
dan teman-temannya itu berdiskusi. Mula-mula mereka membahas alasan-alasan yang
membenarkan pelariannya dari penjara. Sesudah itu Socrates mengajukan
alasan-alasan yang tidak membenarkan dia untuk lari dan mereka membahasnya.
Alhasil, mereka menyimpulkan bahwa tidak baik kalau Socrates melarikan diri.
Diskusi mereka berakhir di sini, dan Socrates kemudian bertindak berdasarkan
kesimpulan tadi: tetap tinggal di penjara. Pada waktu yang ditentukan dia minum
racun, lalu …mati.
Dengan
mengemukakan kisah Socrates itu, Kattshof mau menegaskan bahwa filsafat itu
tidak lain merenung, bertanya, menimbang-nimbang, seperti yang dilakukan
Socrates dan teman-temannya. Filsafat adalah analisis secara hati-hati atas
penalaran-penalaran tentang suatu hal, dan menyusun secara sistematis sudut
pandang yang menjadi dasar suatu tindakan. Ini berarti meragukan segala
sesuatu, tidak menerima sesuatu begitu saja tapi bertanya, mempermasalahkannya,
menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lain, bertanya “mengapa?” serta
mencari jawaban yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain, filsafat
adalah bertanya terus-menerus karena rasa ingin tahu akan kebenaran.
0 komentar:
Posting Komentar