Definisi Filsafat
Ada dua macam definisi:
etimologis dan substansial. Definisi etimologis memberikan penjelasan
berdasarkan asal usul kata. Definisi substansial mendeskripsikan hakikat
sesuatu. Definisi yang sebenarnya ialah definisi substansial.
Definisi Etimologis
Kata
filsafat (bahasa Indonesia, diambil dari bahasa Sanskerta) berasal dari bahasa
Yunani philosophia (philo = mencari, mencinta dan sophia = pengetahuan,
kebijaksanaan). Jadi, filsafat berarti mencari pengetahuan atau
kebijaksanaan. Orang yang mencari kebijaksanaan dinamakan philosophos.
Kata
philosophos dipakai pertama kali oleh Pythagoras, seorang filsuf Yunani
klasik. Dia menyebut diri philosophos (pencinta kebijaksanaan). Menurut
Pythagoras, manusia bertugas mencari kebijaksanaan atau pengetahuan. Tuhan
merupakan kebijaksanaan yang sesungguhnya. Pythagoras dan Plato menggunakan
kata philosophos untuk mengejek kaum sofis yang menganggap diri mampu
menjawab semua macam pertanyaan.
Istilah
philosophia sudah terdapat dalam sastra klasik Yunani. Pada mulanya philosophia
berarti memandang benda-benda di sekitar dengan penuh perhatian. Kemudian
berarti merenung tentang benda-benda itu. Heraclitus (sekitar tahun 500 SM)
menggunakan kata philosophos untuk manusia yang selalu mendambakan
kebijaksanaan karena tak dapat meraihnya dengan sempurna. Menurut dia hanya
Tuhanlah yang bijaksana dan pandai.
Plato kemudian menandaskan bahwa para dewa tak dapat disebut philosophos
sebab mereka sudah memiliki kebijaksanaan.
Definisi Substansial
Filsafat
didefinisikan adalah ilmu yang mempelajari semua realitas sampai sebab-sebab
paling dalam (inti hakikat) dengan menggunakan rasio (refleksi).
Bandingkanlah
dengan ilmu-ilmu lain (seperti psikologi, sosiologi, antropologi) yang hanya
menyelidiki sebagian dari realitas
(yaitu manusia) dengan pancaindera. Filsafat menyelidiki semua realitas (benda
mati, tumbuhan, hewan, manusia, Tuhan) sampai ke hakikatnya dengan sinar akal
budi.
Titik Anjak Filsafat
Filsafat
berawal dengan bertanya tentang segala sesuatu yang terjadi sehari-hari. Modal atau kemampuan dasar untuk berfilsafat
atau bertanya ialah rasio. Hanya makluk yang memiliki rasio dapat berfilsafat. Para filsuf Yunani kuno mulai berfilsafat dengan bertolak
dari gejala perubahan. Mereka menyaksikan bahwa segalanya berubah, tidak tetap,
lalu mereka bertanya: mengapa begitu? Pertanyaan selalu bercampur dengan rasa
heran (wonder). Plato mengatakan
filsafat berawal dari dorongan untuk menyelidiki bintang-bintang, matahari, dan
langit. Immanuel Kant berkata langit bertaburan bintang dan hukum moral dalam
hati manusia adalah dua hal paling mengherankan. Filsafat berawal dari sana, kata Kant.
Pertanyaan
dan rasa heran, seringkali tercampur dengan kesangsian karena dalam usahanya
mencapai pengetahuan atau kebenaran seringkali manusia mengalami bahwa indera
sering keliru. Maka dia sangsi, bertanya lagi, bertanya terus, sampai
kesangsiannya hilang. Manusia bertanya terus-menerus sampai memperoleh
kepastian.
Tidak
semua pertanyaan langsung dikategorikan sebagai pertanyaan filosofis. Kalau
saya bertanya kepada seorang petani tentang mekanisme dan proses penanaman
serta pengolahan padi, itu pertanyaan biasa. Kalau saya minta masukan dari
montir tentang apa yang harus dilakukan manakala mobil mogok, itu pertanyaan
tentang teknik, bukan pertanyaan filosofis.
Pertanyaan
filosofis adalah pertanyaan tentang apa yang terpenting dalam kehidupan. Bukan
tentang main bola, cangkul kebun, baca buku, mendaki gunung, atau menikmati
pemandangan. Itu merupakan hal-hal individual. Artinya, tidak semua orang
berminat dengan hal-hal itu. Ada
yang berminat main bola, tapi ada yang tidak. Ada yang cangkul kebun, tapi banyak yang suka
jadi nelayan dan menangkap ikan. Pertanyaan filosofis adalah pertanyaan yang
menjadi perhatian semua orang. Itu tidak lain, pertanyaan tentang apa yang
terpenting dalam kehidupan.
Pertanyaan-pertanyaan
filosofis misalnya siapakah manusia? Ke mana tujuan manusia? Dari mana asal
usul dunia ini? Apakah kematian itu? Apa yang terjadi sesudah kematian? Mengapa
ada penderitaan? “Bagaimana alam raya, bumi, dan kehidupan muncul merupakan
suatu pertanyaan yang lebih besar dan lebih penting daripada siapa yang meraih
medali emas paling banyak dalam olimpiade lalu”, kata sang Filsuf kepada Sophie.
Obyek Filsafat
Ada
dua macam obyek dari ilmu, yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah apa yang dipelajari atau diselidiki (= subject matter).
Obyek formal adalah sudut pandang (angle) dalam menyelidiki obyek
material. Sebuah rumah akan tampak
berbeda kalau orang yang melihatnya berada di dua tempat berbeda. Sebuah obyek
dapat dilihat dari banyak sudut. Itulah yang dinamakan obyek formal.
Obyek
material filsafat adalah segala sesuatu, seluruh realitas. Apa saja dapat
direnungkan oleh filsafat: benda mati, tumbuhan, hewan, manusia, jiwa, Tuhan.
Filsafat juga menyelidiki apa yang sudah ada, sekarang ada, dan yang akan ada.
Filsafat menyelidiki apa yang ada, apa yang dapat ada, dan apa yang mungkin
ada. Filsafat dapat merenung tentang bunga yang indah, lagu yang merdu, gadis
yang cantik, pemandangan mempesona, dan dapat pula merenung tentang keindahan itu
sendiri. Filsafat dapat merenung tentang langit atau laut yang biru, tapi juga
dapat merenung tentang kebiruan. Filsafat
dapat merenung tentang apa saja.
Obyek
formal filsafat adalah mencari sebab-sebab yang paling dalam. Ilmu-ilmu lain
seakan berenang-renang di permukaan untuk melakukan eksperimen dan mengumpulkan data, filsafat justru menyelam
hingga ke dasar terdalam untuk mencari inti hakikat sesuatu.
Filsafat
dan Psikologi, misalnya sama-sama menyelidiki manusia. Dengan kata lain, obyek
material kedua ilmu itu sama. Unsur pembedanya adalah obyek formal alias sudut
pandang. Psikologi menyelidiki (tingkah laku) manusia sebatas pengamatan
empiris (data empiris yang dikumpulkan lewat observasi, eksperimen, atau hasil
penelitian di laboratorium), tapi filsafat menyelidiki dan bertanya tentang
segala hal menyangkut manusia: dari mana asalnya manusia, ke mana tujuannya,
apakah tubuh itu, apakah jiwa itu, apa hubungan antara jiwa dan tubuh, ke mana
jiwa sesudah kematian, dan sebagainya. Semua aspek manusia diselidiki hingga
diperoleh gambaran tentang hakikat manusia.
Ciri-ciri Pemikiran Filsafat
Berfilsafat
itu tidak sama dengan melakukan kegiatan ilmiah. Keduanya berbeda, seperti
perbedaan antara menyelam dan berenang. Perenang selalu ingin menukik ke dasar
laut, ingin tahu apa yang ada di bawah sana.
Dia ingin tahu apakah di dasar laut itu ada pasir atau batu karang. Kalau batu
karang, apakah ada ikan yang langka. Apakah ada hal-hal lain yang menarik di sana? Seorang perenang
terjun dan menukik di tempat itu juga. Dia tidak kemana-mana. Hal yang menarik
bagi dia bukan alam luas di atas
permukaan, tetapi dasar laut yang menyimpan misteri.
Seorang
perenang bergerak horizontal di permukaan, menjelajah daerah yang luas. Dia
memperhatikan jenis tumbuhan, air terjun, atau apa saja di permukaan. Pesona
alam permukaan menarik dia. Dia tidak peduli dengan apa yang ada di bawah
kakinya. Dia tidak terlalu peduli apakah di bawah itu pasir atau batu karang.
Apakah di bawah sana
ada ikan buas atau mutiara. Dia hanya concern dengan segala yang di
permukaan. Untuk itu ia menggunakan pancaindranya.
Berfikir
biasa berbeda dengan berfikir secara filsafat. Pemikiran filsafat adalah
menyelam ke dasar, menukik ke inti hakikat benda-benda. Ketika orang
berfilsafat dia menyelam, bukan sekedar berenang. Berfikir secara filsafat
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
· Komprehensif (menyeluruh): melihat obyek material dalam suatu totalitas, untuk
menghasilkan kesimpulan yang bersifat universal. Filsafat ingin melihat apanya
atau hakikat dari obyek material (quidditas). Filsafat tidak menyelidiki
obyek materialnya dari sudut tertentu (secara parsial) seperti dilakukan oleh
seorang ilmuwan. Menyeluruh berarti bahwa filsafat menyelidiki juga
konsep-konsep abstrak seperti manusia, keadilan, kebaikan, kejahatan,
kebebasan, atau hal-hal dan proses-proses yang bersifat umum. Filsafat selalu
menyangkut pengalaman umum umat manusia (common experience of mankind).
Cara pemikiran seperti ini menghasilkan kesimpulan-kesimpulan universal.
· Spekulatif: obyek material yang diselidiki oleh filsafat didasarkan pada
dugaan-dugaan rasional (bukan bukti atau data empiris). Filsafat tidak
menyelidiki secara empiris gadis cantik, lagu merdu, lukisan yang inspiratif,
atau pemandangan yang indah, tapi bertanya tentang apa itu keindahan (dilakukan
oleh Estetika). Filsafat bertanya tentang apa itu kebenaran (logika), atau apa
itu kebaikan (etika). Dengan kata lain, berfikir secara filsafat bersifat
konseptual, karena merupakan hasil generalisasi dan abstraksi hal-hal konkrit
dan partikular. Filsafat tidak berfikir tentang manusia Papua, manusia Jawa,
manusia paleolithicum, manusia temperamental, tapi siapa itu manusia. Ciri ini
melampaui batas pengalaman empiris sehari-hari.
· Radikal/mendasar: menyelidiki hingga ke akar atau hakikat dari obyek material yang
diselidiki (radikal berasal dari bahasa Latin radix = akar).
· Konsisten/runtut: bagan konsepsional, hasil perenungan, tidak kontradiktif
(mengandung pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain). Pernyataan-pernyataan
yang tidak runtut, pada dasarnya tidak rasional. Perhatikan contoh berikut.
a. Wilhelm Wundt meninggal di Jerman
b. Wilhelm Wundt tidak meninggal di Jerman
Jika kalimat a benar, maka
kalimat b salah. Demikian pula sebaliknya, kalau kalimat a tidak benar, maka
kalimat b benar. Permenungan filsafat tidak boleh mengandung
pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan, sebab filsafat berusaha mencari
penyelesaian atau jawaban atas pernyataan-pernyataan agar dapat dipahami.
Jawaban atau penyelesaian adalah pernyataan yang terbukti benar, atau terbukti
didasarkan pada bahan-bahan bukti yang lebih mendekaati kebenaran. Tidak
mungkin diperoleh penyelesaian jika kita mengatakan bahwa suatu pernyataan
benar dan kemudian mengatakan bahwa perrnyataan yang bertentangan dengan
pernyataan di atas juga benar.
· Koheren/logis: bagan konsepsional harus logis. Kesimpulan harus ditarik dari
premis-premis yang mendahuluinya. Premis-premis harus diuji kebenarannya. Jadi,
antara satu kalimat dan kalimat lain harus ada hubungan logis. Satu bagian
harus terkandung pada bagian lainnya
Semua orang akan mati (= premis maior)
Bagio seorang manusia (= premis minor)
Jadi, Bagio akan mati (= kesimpulan)
Sebuah
kesimpulan benar kalau ditarik dari premis-premis yang benar. Oleh karena itu,
untuk menarik kesimpulan yang benar, kita harus memeriksa isi premis-premis
itu. Contoh kita di atas menunjukkan bahwa kesmpulannya benar sebab
premis-premisnya benar.
·
Sistematis: dalam menjawab suatu permasalahan digunakan pendapat-pendapat
sebagai wujud proses berfikir filsafat. Pendapat-pendapat tersebut harus saling
berhubungan secara teratur, mempunyai maksud serta tujuan tertentu.
· Berfikir bebas: filsafat merupakan hasil pemikiran yang bebas (bebas dari prasangka
sosial, historis, kultural, religius dsb.). Socrates, misalnya, memilih minum
racun daripada mengorbankan kebebasannya untuk berfikir menurut keyakinan
pribadi. Baruch Spinoza menolak pengangkatannya menjadi guru besar filsafat di
Universitas Heidelberg karena khawatir akan kehilangan kebebasan berfikir.
· Bertanggung jawab: orang yang berfilsafat berfikir dan bertanggungjawab.
Bertanggungjawab terhadap siapa? Pertama-tama, kepada hati nuraninya sendiri.
Orang yang berfilsafat harus mampu merumuskan fikiran-fikirannya sedermikian
rupa agar mampu dikomunikasikan kepada orang lain dengan mudah.
0 komentar:
Posting Komentar