Dalam buku Politics karya Aristoteles, diceritakan tentang
orang-orang yang mengolok Thales, filsuf dan ahli astronomi dari Miletus (Yunani), karena
ia miskin. Filsafat, kata mereka, tidak bermanfaat bagi Thales. Buktinya, dia
miskin. Tetapi Thales tak terpengaruh dengan ejekan tersebut, karena bagi dia,
filsafat jelas-jelas bermanfaat. Dia menunggu waktu yang baik untuk
membuktikannya.
Sebagai ahli astronomi, Thales mengetahui bahwa tahun berikutnya
panen zaitun melimpah. Ketika musim dingin masih berlangsung, dia menggunakan
sebagian uangnya untuk memborong semua mesin press zaitun di kota Miletus dan Chios. Tentu saja mesin-mesin itu dibeli dengan harga
murah. Begitu panen raya zaitun tiba, permintaan akan mesin press zaitun
melonjak. Tapi stok di toko-toko habis, sudah diborong Thales. Thales menyewakan mesin-mesin press itu dengan
tarif tinggi dan meraup keuntungan berlipat-lipat. Dengan itu dia mau
membuktikan bahwa filsuf pun bisa jadi kaya raya kalau dia mau. Kalau selama
ini dia kelihatan miskin, itu karena dia memang mau begitu.
Cibiran
terhadap filsafat juga masih kita temukan di lingkungan kita, termasuk kalangan
akademis. Franz Magnis-Suseno, guru besar filsafat dari STF Driyarkara, Jakarta, menceritakan
pengalamannya sebagai berikut:
“Kalau saya memperkenalkan diri sebagai dosen filsafat pada seorang
anggota elite intelek Indonesia yang betul-betul ahli dalam salah satu bidang
ilmiah, tak jarang saya mencium reaksi yang dia mau merahasiakannya, yaitu
suatu pertanyaan skeptis tentang di mana tempat kesibukan filsafat dalam
kalangan ilmu-ilmu, dan apa kita di Indonesia tidak sebenarnya memerlukan
ahli-ahli yang sungguh-sungguh, misalnya di bidang kedokteran, teknologi,
ekonomi, dan sebagainya daripada filosof”.
(Magnis-Suseno: 1991)
Masyarakat
yang berorientasi kerja, cenderung mengejar ilmu yang mempunyai manfaat praktis,
seperti ekonomi, psikologi, teknik. Dalam iklan-iklan di media massa, jarang kita
menemukan sarjana filsafat sebagai syarat untuk melamar suatu pekerjaan.
Kemakmuran dan sukses hidup tak dapat dipisahkan dari materi dan uang. Filsafat
dianggap tidak praktis, kurang bermanfaat, tak dapat diterapkan dalam hidup
sehari-hari, hanya cocok bagi calon pastor atau pendeta. Belajar filsafat
dianggap sia-sia, buang-buang waktu, mahasiswa hanya jadi calon penganggur.
Thiroux
dan Woodhouse menggarisbawahi pentingnya kuliah filsafat dewasa ini. Dalam buku
Philosophy, Theory and Practice, (1985) Thiroux menyebut paling kurang
empat manfaat filsafat:
Pertama, filsafat menjadikan orang lebih
sadar dan kreatif. Berfilsafat berarti mempertanyakan segala sesuatu, termasuk
keyakinan dan teori. Dengan demikian, orang jadi lebih sadar akan diri, orang
lain, dan lingkungan. Orang jadi lebih berkembang, wawasan observasi dan
kontemplasi bertambah, dan orang belajar untuk berfikir dan bertindak lebih
kreatif.
Kedua, filsafat menumbuhkan sikap
toleran. Dengan selalu mempertanyakan keyakinan dan teori, termasuk teori
sendiri, orang makin menyadari betapa sulit dan kompleksnya masalah-masalah
kehidupan. Suatu teori atau keyakinan tidak dapat memberikan jawaban memuaskan
untuk mengatasi persoalan hidup. Dengan demikian, orang belajar menghargai
teori dan keyakinan orang lain. Pandangan kita dan pandangan orang lain, yang
memang berbeda, bisa saja menawarkan jalan keluar yang baik. Singkat kata, belajar
filsafat membuat kita toleran terhadap perbedaan.
Ketiga, filsafat memberikan metode
sistematis untuk menyelesaikan persoalan-persoalan. Filsafat mengajarkan
bagaimana menyusun argumen yang valid, bagaimana menghindari logical
fallacies. Dengan kata lain, filsafat mengajarkan bagaimana bernalar secara
logis.
Keempat, filsafat membuat kita jadi
lebih konsisten. Jika kita mempertanyakan sesuatu secara mendasar,
menganalisis, dan mengevaluasi segalanya secara cermat, kita akan menjadi lebih
konsisten dalam kehidupan. Bertanya, menganalisis dan mengevaluasi bertujuan
memperoleh konsistensi sehingga kita menghadapi kehidupan dan permasalahannya
secara rasional dan teratur. Hidup tidak cukup dihadapi dengan reaksi spontan
tanpa memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai acuan. (Thiroux: 1985).
Woodhouse,
dalam Berfilsafat, Sebuah Langkah Awal (edisi Indonesia, 2000)
mengatakan filsafat membuat orang semakin mandiri secara intelektual, lebih
toleran terhadap perbedaan sudut pandang, dan bebas dari dogmatisme. Lebih
lanjut Woodhouse mengatakan:
Pertama, sikap-sikap itu dapat
berkembang karena luasnya kajian filsafat. Misalnya terhadap pertanyaan apakah
yang menjadikan tindakan yang benar itu benar? bisa diberikan macam-macam
jawaban, seperti kebahagiaan, kepentingan pribadi, kelangsungan hidup spesies manusia,
desakan suara hati, dll. Meski jawaban-jawaban itu sepintas dapat diterima,
tidak ada satu jawaban yang mutlak harus diterima. Kita tahu bahwa sudut
pandang orang yang memberikan jawaban itu mungkin tidak masuk akal, tapi
didukung argumen yang kuat. Hal ini bisa membuat kita frustrasi atau justru
sebaliknya, membebaskan kita. Kesadaran akan hal ini membuka pintu bagi kita
untuk bersikap toleran dan bebas dari dogmatisme.
Kedua, filsafat memberikan kebebasan
intelektual dan sikap-sikap lain yang terkait. Misalnya, dalam kuliah Pengantar
Ilmu dikatakan bahwa ilmu didasarkan pada prinsip determinisme (pandangan
bahwa segala peristiwa memiliki sebab). Dalam kuliah Sosiologi dan Antropologi
diajarkan bahwa tiap kebudayaan memiliki moral berbeda-beda, sehingga benar dan
salah adalah soal suka atau tidak suka. Dalam kuliah Kesenian dikatakan bahwa tidak ada kriteria untuk membedakan
seni yang baik dan buruk. Semuanya tergantung pada si penikmat seni. Semua
pernyataan di atas sering diterima begitu saja sebagai kebenaran, tanpa sikap
kritis. Filsafat mendorong kita untuk menguji dan mempersoalkan kembali
dogma-dogma yang telah dianggap benar. Dengan demikian kita mengambil sikap dan
menentukan pendirian terhadap suatu masalah.
Ketiga, filsafat memungkinkan kita
memberikan penilaian kritis. Tujuan kuliah filsafat bukan sekadar meninjau
berbagai teori, tapi juga menilainya secara kritis. Sikap kritis berarti tidak
menerima sesuatu begitu saja. Filsafat bukan sekedar mengisi kepala dengan
fakta-fakta, tetapi membentuk pemikiran. (Woodhouse: 2000).
Singkatnya,
manfaat (belajar) filsafat adalah agar kita menjadi kritis. Filsafat
adalah ilmu kritis karena dengan ketajaman rasio mempelajari inti hakikat
seluruh realitas. Bersikap kritis berarti terus-menerus bertanya sampai
ditemukan penjelasan yang paling dalam. Bersikap kritis berarti memandang
sesuatu dari berbagai perspektif. Itulah pertimbangan utama mengapa filsafat
dimasukkan dalam kurikulum perguruan tinggi. Seorang intelektual atau akademisi
adalah orang yang berfikir kritis. Kalau ilmu-ilmu lain berusaha menjawab
masalah yang timbul, filsafat mempermasalahkan jawaban yang
diberikan.
Dengan
bersikap kritis, orang sanggup menempatkan ilmu dalam perspektif lebih luas.
Dengan bertanya sampai ke hakikat, orang dapat memberikan pendasaran rasional
terhadap hakikat eksistensi. Dengan bertanya terus-menerus, orang dapat
memberikan pendasaran rasional bagi iman. Dengan bertanya tak henti-hentinya,
orang dapat melakukan kritik terhadap ideologi. Dan, dengan bertanya sampai ke
inti hakikat terdalam, orang dibantu untuk memecahkan masalah-masalah etis yang
disebabkan pesatnya perkembangan ilmu, seperti di bidang kedokteran, teknologi,
penjelajahan antariksa, dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar